Jumat, 13 Juli 2012

-Baitul Maal Wat Tamwil lebih baik daripada Grameen Bankperbandingan model pemberdayaan-skripsi


1.    Baitul Maal Wat Tamwil lebih baik daripada Grameen Bank
Berbicaca tentang BMT (Baitul Maal wat Tamwil) pada Tahun 2003, PINBUK pernah merumuskan pola pengembangan baru BMT, yaitu pengembangan BMT dengan berbasis kelompok yang diistilahkan dengan POKUSMA (Kelompok Usaha Muamalat) untuk mengefektifkan pembiayaan dan Pembinaan anggota serta memperluas jangkauan untuk menyentuh yang lebih miskin (pro poor). Selama ini BMT dikembangankan dengan pendekatan individual. Beberapa di antaranya juga sudah melakukan pembinaan anggota, hanya kemudian didasari kondisi faktual bahwa asset BMT-BMT banyak yang telah menjadi besar Batasan Maksimal Pemberian Pembiayaan (BMPP) semakin besar. Artinya fasilitasi pembiayaan BMT mulai menyentuh segmen papan menengah keatas dari usaha mikro. Kondisi ini menyebabkan yang miskin banyak yang belum tersentuh. Dengan pendekatan kelompok, model ini menjadi solusi atas kendala kolateral bagi anggota, sehingga akan menyentuh lebih banyak kalangan miskin dan dengan pola kelompok juga lebih efisien dalam hal tenaga, waktu dan biaya untuk pembinaan/pendampingan.
Pendekatan ini memunculkan adanya dinamika kelompok mulai saat pembentukan kelompok dalam kegiatan latihan wajib kumpulan (LWK) selama lima hari berturut-turut (1 jam) dan saat pertemuan mingguan rempug himpunan (RUMPUN). Dari sisi pendekatan kelompok dapat dikatakan seperti Grameen bank di Bangladesh, namun secara kelembagaan melekat pada BMT sebagai lokal unit sistem, bukan terpusat dari sebuah industri perbankan, sehingga rasa kepemilikan dan keterlibatan dalam pengelolaan dari masyarakat setempat cukup besar. Selain itu sistem operasionalnya juga beda, pendekatan prinsip syariah dilaksanakan di BMT POKUSMA ini.[1]
Menurut praktisi Bank Syariah Zainulbahar Noor, konsep Prof. Dr. Ir. Muhammad Amin Aziz dan gerakan PINBUK/BMT-nya berada pada tataran yang lebih mendalam dan berakar dibandingkan Grameen Bank. Zainul menyebutkan beberapa alasan. Pertama, GB diarahkan hanya kepada wanita dan anak-anak. Sedangkan bmt melibatkan seluruh komponen masyarakat. Kedua, GB cukup tepat di Bangladesh, sesuai dengan struktur etnografi, antropologi dan sosial masyarakat setempat. Tapi di negeri-negeri lain yang miskin seperti di afrika, ternyata pola GB tidak sukses seperti di Bangladesh.
Ketiga, secara kebetulan banyak intelektual Bangladesh yang berada dan bekerja di luar negeri. Mereka turut mempromosikan kesuksesan GB kepada Negara-negara lain.
Keempat, Bangladesh adalah bekas jajahan Inggris. Kontak GB dengan inggris maupun dunia internasional pada umumnya cukup baik, jauh lebih luas daripada lembaga manapun di Indonesia. Hal itu memudahkan GB untuk memperoleh bantuan-bantuan dana dari luar negeri.
Kelima, program GB ditopang penuh oleh pemerintah Bangladesh, didukung secara riil, serta menjadi bagian dari pembangunan ekonomii Bangladesh. Tidak demikian dengan PINBUK/BMT. BMT belum bisa menembus hal demikian (menjadi bagian dari pembangunan ekonomi Indonesia) karena persoalan multidemensi yang dihadapi bangsa Indonesia. Selain itu, pola-pola yang coba dipakai oleh pemerintah untuk mengangkat kaum miskin belum mendapatkan perhatian semestinya.[2]


[1]Sebuah Biografi Prof. Dr. Ir. Amin Aziz Kegigihan Sang Perintis (Jakarta: Penerbit Embun Publishing dan MAA Institute, 2007), h. 73.
[2]Sebuah Biografi Prof. Dr. Ir. Amin Aziz Kegigihan Sang Perintis (Jakarta: Penerbit Embun Publishing dan MAA Institute, 2007), h. 75.

0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com