- Ta’awun dan Antarodin dalam Lembaga Keuangan Mikro
Untuk memulai usaha
diperlukan modal
seberapa
pun kecilnya.
Adakalanya
orang mendapatkan modal
dari
simpanannya atau dari keluarganya.
Adapula
yang meminjam kepada rekan-rekannya (ta’awun).
Jika tidak tersedia,
peran
institusi keuangan(LKM)
menjadi sangat penting karena dapat menyediakan modal bagi orang yang
ingin berusaha.
Dalam Islam,
hubungan pinjam-meminjam tidak dilarang,1
bahkan dianjurkan agar terjadi hubungan saling menguntungkan, yang
pada gilirannya berakibat kepada hubungan persaudaraan (ukhuwah).
Hal yang perlu diperhatikan adalah apabila hubungan itu tidak
mengikuti aturan yang diajarkan oleh Islam.
Misalnya menggunkan bunga (interest
rate) yang
merupakan riba. Karena
itu, pihak-pihak yang berhubungan harus mengikuti etika yang
digariskan oleh Islam.2
Contoh beberapa akad praktis yang bias digunakan dalam hal ini: Al
Murabahah, BAI’AS-Salam, BAI’AL-Istishna, Al-Mudharabah,
Musyarakah dan Al Ijarah.
Sehubungan dengan
beragamnya bentuk
dari
lembaga keuangan mikro,
diantaranya berbentuk BMT, Koperasi dan Grameen Bank, beragam
pulalah jenis
dan
pola yang diterapkan.
Misalnya
perbedaan
dan persamaan antara
Koperasi yang mengusung prinsip mutualisme
(riba)
dan BMT yang menerapkan prinsip syariah(nirriba).
Meminjamkan perkataan Sri Edi Swasono3
yang menyebutkan bahwa pemikiran strukturalisme4dan
pemikiran ekonomi syariah bertemu dalam, dua substansi pokok, yaitu
mengatasi ketidakadilan sosial
dan mengatasi ketimpangan-ketimpangan struktural
sebagai yang menjadi sumber ketidakadilan itu sendiri.
Maka dari itu Sri
Edi Swasono menawarkan beberapa butir rekontruksi yang salah satunya
yaitu Triple-Co,
yaitu co-ownership,
co-determination,
dan co-responsibility
sebagai implementasi demokratisasi ekonomi di dalam badan-badan usaha
ekonomi. Hal ini bertujuan menuju kukuhnya perekonomian rakyat
melalui wadah
Koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional.5
Gagasan ini tak lain termasuk kedalam konsep dari Ta’awun
(tolong-menolong dalam hal kebaikan).
Usaha bersama adalah
wujud paham mutualisme,
suatu kehendak untuk senantiasa mengutamakan semangat bekerjasama
dalam kegotong-royongan, dalam ke-jemaah-an,
dengan mengutamakan keserikatan, tidak sendiri-sendiri.
Sedangkan Asas
kekeluargaan
adalah brotherhood
atau ke-ukhuwah-an
sebagai pernyataan adanya tanggungjawab bersama untuk menjamin
kepentingan bersama, kemajuan bersama dan kemakmuran bersama,
layaknya makna brotherhood
yang mengutamakan kerukunan dan solidaritas.
Berbicara
tentang solidaritas,sama
halnya dengan BMT dan Koperasi
dimana
pola Grameen
Bank
pun menerapkan prinsip solidaritas.
Adapun yang
menarik pada pola Grameen yakni program replikasi mensyaratkan adanya
tanggung jawab bersama guna memastikan terpenuhinya pembayaran
cicilan pinjaman mingguan mereka kepada organisasi.6
Dalam
sebuah lembaga keuangan mikro yang menggunakan sistem Grameen,
terdapat keadaan dimana pada suatu waktu nasabah akan mengalami
kesulitan dalam membayar cicilan pembayaran. Ketika hal ini terjadi,
nasabah harus mengerti bahwa ini adalah tanggung jawabnya dan
kelompok serta kumpulan memecahkan masalah tersebut.
Hal ini menjadikan
kelompok termotivasi untuk mengerti bahwa menerima tanggung jawab
bersama adalah untuk kebaiakan mereka, menjaga anggota kelompok dan
memastikan kemajuan satu sama lain. Para nasabah ini memilih sendiri
anggota kelompoknya dan mereka didorong untuk dapat saling membantu
(ta’awun)
bila salah satu anggota kelompok mendapatkan kesulitan.7
Sebelum
prinsip
ta’awun
terjadi tentunya harus melewati prinsip
antarodin.
Alasannya sebelum terjadinya akad pembiayaan antara Shahibul
maal (pemilik
modal)
dengan, Mudharib
(pelaksana
usaha) tentunya diperlukan keridhaan (antarodin)
diantara kedua belah pihak. Dalam
hal
ini
untuk
memberikan kejelasan tentang akad atau kontrak apa yang akan dipakai
kedua belah pihak dalam bekerjasama.
Didalam
akad , terms
and condition-nya
sudah ditetapkan secara rinci dan spesifik(sudah well-defined).
Bila salah satu atau kedua pihak yang terikat dalam kontrak itu tidak
dapat memenuhi kewajibannya, maka ia menerima sanksi yang sudah
disepakati dalam akad.8
Dan hal ini menitikberatkan kepada keridhaan diantara kedua belah
pihak.
Dalam kerjasama
bisnis atau investasi, para pelaku pasti akan menghadapi salah satu
dari tiga kemungkinan yang ada, yaitu untung, rugi, atau tidak untung
dan tidak rugi. Jika kerugian hanya ditanggung oleh salah satu pihak,
aktivitas ibi dapat dikategorikan sebagai aktivitas ribawi (interest
rate),
karena memperlakukan suatu kontrak yang berkarakter tidak pasti
(uncertainty
contract)
menjadi pasti (certainty
contract),
yang berarti terlarang
dalam Islam.
Namun,
jika kedua belah pihak bersepakat sejak awal (antarodin)
untuk melakukan sharing
terhadap risiko dan keuntungan, aktivitas bisnis ini sah dan
diperbolehkan dalam Islam.9
Maka dari itu
prinsip ta’awun
dan antarodin
keduanya tidak
dapat dalam
kegiatan ekonomi
yang Islami.
khususnya
Lembaga
Keuangan
mikro dalam hal penyaluran pembiyaan kepada nasabahnya. Sehingga
kedua belah pihak terjadi hubungan saling menguntungkan tanpa ada
pihak-pihak yang dirugikan.
3Sri
Edi Swasono, “Paradigma
Baru Ilmu Ekonomi”,
Pidato Kunci
pada”Workshop Nasional Arsitektur Ilmu Ekonomi Islam:Upaya
Akselerasi Sistem
Ekonomi Islam di Indonesia” UIN Syarif Hidaytullah, Jakarta 28
Februari 2012, h.12.
4Strukturalisme
adalah kaum struktulis yang menempatkan ilmu ekonomi pada peran
normatifnya, menjelajahi komposisi dan interrelasi antasa para
aktor, sektor-sektor dan variabel-variabel ekonomi dalam rangka
perwujudan keadilan dan kesetaraan sosial-ekonomi.
7Ratna
Marita Eka C, “Pemberdayaan Ekonomi Perempuan Sistem Grameen Pada
PT. Mitra Bisnis Keluarga Ventura dan Koperasi Baytul Ikhtiar”
(Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta,
2011),
h.64
8Adiwarman
A.Karim, Bank Islam
Analisis Fiqih dan Keuangan,cet
III, (Jakarta:PT Rajagrafindo Persada,2004), h 65
9Adiwarman
A.Karim, h.80.
0 komentar:
Posting Komentar