1.
Baitul
Maal Wat Tamwil lebih baik daripada Grameen Bank
Berbicaca tentang BMT (Baitul
Maal wat Tamwil) pada Tahun 2003, PINBUK pernah merumuskan pola
pengembangan baru BMT, yaitu pengembangan BMT dengan berbasis kelompok yang
diistilahkan dengan POKUSMA (Kelompok Usaha Muamalat) untuk mengefektifkan
pembiayaan dan Pembinaan anggota serta memperluas jangkauan untuk menyentuh
yang lebih miskin (pro poor). Selama
ini BMT dikembangankan dengan pendekatan individual. Beberapa di antaranya juga
sudah melakukan pembinaan anggota, hanya kemudian didasari kondisi faktual
bahwa asset BMT-BMT banyak yang telah menjadi besar Batasan Maksimal Pemberian
Pembiayaan (BMPP) semakin besar. Artinya fasilitasi
pembiayaan BMT mulai menyentuh segmen papan menengah keatas dari usaha mikro.
Kondisi ini menyebabkan yang miskin banyak yang belum tersentuh. Dengan
pendekatan kelompok, model ini menjadi solusi atas kendala kolateral bagi
anggota, sehingga akan menyentuh lebih banyak kalangan miskin dan dengan pola
kelompok juga lebih efisien dalam hal tenaga, waktu dan biaya untuk
pembinaan/pendampingan.
Pendekatan ini memunculkan adanya dinamika kelompok
mulai saat pembentukan kelompok dalam kegiatan latihan wajib kumpulan (LWK)
selama lima hari berturut-turut (1 jam) dan saat pertemuan mingguan rempug himpunan
(RUMPUN). Dari sisi pendekatan kelompok dapat dikatakan seperti Grameen bank di
Bangladesh, namun secara kelembagaan melekat pada BMT sebagai lokal unit
sistem, bukan terpusat dari sebuah industri perbankan, sehingga rasa
kepemilikan dan keterlibatan dalam pengelolaan dari masyarakat setempat cukup
besar. Selain itu sistem operasionalnya juga beda, pendekatan prinsip syariah
dilaksanakan di BMT POKUSMA ini.[1]
Menurut praktisi Bank Syariah Zainulbahar Noor,
konsep Prof. Dr. Ir. Muhammad Amin Aziz dan gerakan PINBUK/BMT-nya berada pada
tataran yang lebih mendalam dan berakar dibandingkan Grameen Bank. Zainul
menyebutkan beberapa alasan. Pertama,
GB diarahkan hanya kepada wanita dan anak-anak. Sedangkan bmt melibatkan
seluruh komponen masyarakat. Kedua, GB
cukup tepat di Bangladesh, sesuai dengan struktur etnografi, antropologi dan
sosial masyarakat setempat. Tapi di negeri-negeri lain yang miskin seperti di
afrika, ternyata pola GB tidak sukses seperti di Bangladesh.
Ketiga,
secara kebetulan banyak intelektual Bangladesh yang berada dan bekerja di luar
negeri. Mereka turut mempromosikan kesuksesan GB kepada Negara-negara lain.
Keempat,
Bangladesh adalah bekas jajahan Inggris. Kontak GB dengan inggris maupun dunia
internasional pada umumnya cukup baik, jauh lebih luas daripada lembaga manapun
di Indonesia. Hal itu memudahkan GB untuk memperoleh bantuan-bantuan dana dari
luar negeri.
Kelima,
program GB ditopang penuh oleh pemerintah Bangladesh, didukung secara riil,
serta menjadi bagian dari pembangunan ekonomii Bangladesh. Tidak demikian
dengan PINBUK/BMT. BMT belum bisa menembus hal demikian (menjadi bagian dari
pembangunan ekonomi Indonesia) karena persoalan multidemensi yang dihadapi
bangsa Indonesia. Selain itu, pola-pola yang coba dipakai oleh pemerintah untuk
mengangkat kaum miskin belum mendapatkan perhatian semestinya.[2]